Apa itu tasawuf? Apa pula gunanya? Apa yang harus diperhatikan, dikerjakan dan dihindari? Tasawuf itu menarik bagi orang yang sedang dalam keadaan puncak; puncak keberhasilan, puncak kegagalan, puncak kesedihan dan puncak kebahagiaan, yakni ketika manusia sedang tergelitik oleh pertanyaan tentang dirinya, tentang keberadaan dirinya dalam perspektif kehidupan. Tasawuf hanya menarik bagi orang yang Sedang bertanya tentang dirinya, karena pertanyaan tentang dirinya akan membawanya pada “alam” yang sangat luas, terutama secara psikologis dan spiritualis. Jika orang telah sampai ke alam itu maka bumi ini sangat kecil, apa lagi manusianya, dan ketika itu ia selalu mencari yang besar, Yang Maha Besar dan Luas. Meskipun manusia itu kecil, tetapi jika ia telah mengetahui siapa dirinya maka ia akan berada dalam kebesaran dan keluasan.
Setiap manusia sebenarnya adalah alam, hanya saja luas sempitnya alam manusia berbeda-beda tergantung kapasitasnya. Keluasan manusia bukan pada fisiknya tetapi pada jiwanya, pada nafs-nya.
Kajian tentang nafs, bisa melalui psikologi, bisa juga melalui tasawuf. Psikologi sematamata produk renungan intelektual (dan sedikit laboratorium) dan yang dipelajari bukan apa itu nafs, tetapi tingkah laku manusia yang diduga sebagai gejala dari jiwanya. Sedang tasawuf merupakan produk olahrasa (riadhah) yang didasarkan pada syariat agama (keyakinan). Ia bersumber dari Qur’an dan hadits, diteropong dengan metode isyariy dan pemantapannya dilakukan dengan pelatihan jiwa, as sayr dan suluk hingga seseorang merasa dekat dengan sang Khalik. Kajian tentang nafs dalam tasawuf adalah dalam upaya mengetahui kekuatan (potensi) dan kelemahan (penyakit)nya yang dengan itu dapat menjadi pijakan dalam langkah mendekatkan diri kepadaNya.
Manusia adalah makhluk yang berpikir dan merasa.
Sebagian orang memandang bahwa bertasawuf itu artinya hanya mementingkan aspek afektifnya saja, zikir misalnya, tapi sebenarnya afeksi itu harus berdiri di atas fondasi kognitif (fiqh/syari’at) dan juga tetap tidak meninggalkan aspek psikomotoriknya (jihad misalnya). Hanya saja memang ada orang yang lebih tertarik menghiasi diri dengan akhlak yang baik (tahalli), yang lain ada yang sibuk membersihkan diri dari kotoran akhlak yang rendah (takholli), dua hal yang sebenarnya tidak bertentangan.
Dalam olahrasa memang ada orang yang merasa semakin kecil karena ketika bercermin ia mendapati jiwanya kotor, tapi ada pula orang yang kemudian menikmati berakrab-akrab dan bercanda dengan Tuhan, karena ia lebih memerhatikan sifat kasih sayangNya dibanding memerhatikan kotoran yang melekat di jiwanya. Ia meyakini betul bahwa rahmat Tuhan akan lebih dominan dibanding hukuman yang harus ia terima.
Nafs Ammarah
Namun begitu, di antara perhatian orang yang bertasawuf adalah sibuk membersihkan diri dari kotoran rohaniah, yakni bagaimana agar nafs ammarah bisa ditingkatkan menjadi nafs mutmainnah. Sifat sombong, serakah dan dengki adalah merupakan karakter dari nafs ammarah. Menurut Al Qur’an, tingkatan nafs itu ada empat: nafs zakiyyah, nafs lawwamah, nafs muthmainnah dan nafs ammarah. Dari empat tingkatan itu dapat digambarkan bahwa pada mulanya, yakni ketika seorang manusia belum mukallaf, jiwanya masih suci (zakiyyah). Ketika sudah mencapai mukallaf dan berinteraksi dengan lingkungan kehidupan yang menggoda, jika ia merespons secara positif terhadap lingkungan hidupnya maka nafs itu dapat meningkat menjadi nafs mutma’innah (jiwa yang tenang) setelah terlebih dahulu berproses di dalam tingkatan nafs lawwamah (jiwa yang selalu menyesali dirinya).
Setiap nafs yang telah mencapai tingkat mutma’innah pastilah ia menyandang predikat zakiyyah. Akan tetapi, jika nafs itu merespons lingkungan secara negatif, maka ia dapat menurun menjadi nafs ammarah (jiwa yang selalu memerintah untuk berbuat jahat) dengan segala karakteristik buruknya. Imam Gazali membuat istilah baru nafs musawwilah (jiwa yang sudah stabil tapi dalam hal-hal tertentu rapuh), yakni nafs dalam posisi antara lawwamah dan muthma’innah.
Lalu apa karakteristik nafs ammarah? Secara tersirat Al-Qur’an menyebut banyak karakteristik buruk dari nafs yang dapat digolongkan dalam rumpun nafs al ammarah. Secara umum nafs Ammarah itu memiliki kecenderungan kepada semua hal-hal yang buruk ( Ammarah bissu’). Al-Qur’an menyebut jenis kecenderungan buruk itu antara lain: hasad, kecenderungan berbuat dosa, zalim, culas, mesum, sombong dan kikir. Wallahualam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar