Rabu, Desember 02, 2009

Kepergian Menuju Keabadian

Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah milik Allah Ta’ala, Dzat yang memberikan kita kehidupan, telah menetapkan hidup kita di dunia tidaklah abadi dan sebagai ujian semata.

Allah Ta’ala menyatakan dalam firman-Nya, artinya: “Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk mengujimu, siapakah di antara kamu semua yang paling baik amalnya Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS: Al-Mulk: 2)

Tidak ada seseorang pun di alam ini yang terlepas dari Kekuasaan dan Ketetapan Allah Ta’ala. Terlepas apakah ia adalah seorang yang berkedudukan tinggi ataupun tidak di dunia ini. Sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Allah Ta’ala, artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan……….” (QS: Al-Baqoroh: 155)

Oleh sebab itu marilah kita menyadari bahwa kepergian salah satu anggota keluarga kita adalah merupakan ketetapan Allah Ta’ala, yang bertujuan untuk menguji ataupun memperingatkan keluarga yang ditinggalkan atas amalan-amalan yang telah kita lakukan. Oleh sebab itu setiap individu haruslah melakukan intropeksi diri dan bersabar dalam menghadapinya.

Allah berfirman, artinya: “…………..,Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: " Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun (Sesungguhnya, kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami kembali)”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Robb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS: Al-Baqoroh: 155-157)

Namun sayangnya di tengah suasana duka yang masih memayungi keluarga yang ditinggalkan ternyata masih ada sebagian orang yang ditokohkan belum bisa memaafkan segala perbuatan almarhum di masa lalu. Sekarang kalau kita mau jujur, jangankan musuh, kepada teman kita saja tidak seperti itu. Ini bukti kalau ukhuwah kita jelek sekali. Tidak peduli ia adalah seorang negarawan atau rakyat biasa.

Kalau teman kita ada yang terkena musibah seperti itu, diantara kita siapa yang bisa berlaku dan berbuat seperti itu? Misalnya ada teman yang keluarganya meninggal, coba adakah diantara kita yang datang kepada keluarganya dan mengatakan 'saya akan memenuhi kebutuhan kalian ?'

Sekarang mari kita mengambil pelajaran dari Imam Ahmad, imam ahlu sunnah wal jama'ah, yang beliau dirantai dan disiksa dari satu penjara ke penjara yang lain, beliau disiksa di siang hari di bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Dimasukkan ke dalam penjara sementara darah masih menetes dari tubuhnya pada saat fitnah khalqil Quran (para ahlu bid'ah dan penguasa memaksa Imam Ahmad untuk mengatakan "Al Quran Makhluk", padahal Al Quran bukan makhluk akan tetapi Firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala).

Kita perhatikan beliau, ketika beliau marah, marahnya bukan untuk membalas, beliau marah bukan untuk hawa nafsunya akan tetapi marahnya karena Alloh Subhanallohu wa Ta’ala I. Beliau mengatakan ”semua yang pernah membicarakanku meka mereka semua halal dan aku maafkan semua. Dan aku memaafkan Abu ishaq, (Raja Muktasim yang telah memenjarakan dan menyiksa belaiu dengan siksaan yang berat)."

Kemudian beliau mengatakan “aku maafkan Abu Ishaq, aku melihat melihat firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, yang artinya:“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mengampunimu?" (QS. An Nuur:22).

Tidakkah kita melihat bahwa Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, Maha Pengampun lagi Maha Pemurah. Jadi, ini menunjukkan bagaimana Alloh Subhanallohu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hambanya untuk memberi maaf kepada orang lain. Rasullloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Bakar untuk memafkan pada kisah tuduhan palsu pada ‘Aisyah RadhiAllohu 'Anha yang dituduh oleh orang munafiqin melakukan perbuatan zina dengan salah seorang sahabat.

Apa manfaatnya bagi kita, Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mengadzab seseorang hanya untuk kepentingan kita? untuk memuaskan kepentingan kita dan membalas dendam kita?

Imam Ahmad setelah disiksa, tidak pernah membuka lagi catatan-catatan yang dulu ketika beliau disiksa. Beliau tidak ingin mengingat lagi orang-orang yang dahulu pernah terlibat terhadap penyiksaan beliau. Beliau tidak pernah mengingat lagi "Si fulan yang dulu mengejek saya , Si fulan yang dulu begini dan begini”. Beliau tidak membuat perhitungan dengan orang-orang tersebut, beliau memaafkan semua orang-orang tersebut.

Contoh yang lain adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang dianggap kafir dan difatwakan bahwa darahnya halal oleh para ulama pada zamannya. Beliau dimasukkan dari satu penjara ke penjara yang lain kemudian disiksa dari waktu ke waktu. Kemudian setelah beliau keluar dari penjara beberapa ahlu bid'ah dan orang-orang yang ingin membela beliau datang meminta maaf kepada beliau.

Salah satu musuh beliau adalah seorang ulama dari madzhab maliki dengan nama Ibnu Makhluf. Ibnu Makhluf wafat pada masa Ibnu Taimiyah. Salah satu Murid Ibnu Taimiyah yaitu Ibnu Qayyim mengetahui kematian Ibnu Makhluf. Kemudian Ibnu Qoyyim bersegera datang menemui Ibnu Taimiyah menyampaikan kabar gembira ini. Akan tetapi, mari kita lihat reaksi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika melihat muridnya memberitahukan kematian musuh besarnya, kita lihat apakah beliau sujud syukur? Apakah beliau mengatakan 'Alhamdulillah' maha suci Alloh Subhanallohu wa Ta’ala yang telah menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatannya'? Tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang sekarang, Syaikhul Islam dengan musuh besarnya yaitu Ibnu Makhluf ketika Ibnu Makhluf meninggal beliau tidak sujud syukur, tidak mengucapkan kalimat-kalimat yang menggambarkan kebenciannya. Tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian orang sekarang, begitu bencinya kepada seseorang sehingga ketika mendengar kematian seseor!
ang yang dibencinya sampai mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang tidak layak diucapkan oleh seorang muslim.



Syaikhul Islam memarahi Ibnul Qoyyim kemudian mengingkari perbuatannya karena menyampaikan kegembiraan atas kematian musuh besar beliau, dan beliau mengucapkan kalimat istirja', "inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'un". Kemudian beliau langsung mendatangi rumah Ibnu Makhluf, berta'ziah dan kemudian mengatakan kepada keluarga, anak dan istri Ibnu Makhluf, "sesungguhnya sekarang status saya seperti bapak kalian". "Tidak ada sesuatu pun yang kalian butuhkan melainkan saya akan berusaha memenuhi kebutuhan kalian." Akhirnya mereka, keluarga Ibnu Makhluf, senang dan mereka mendoakan Syaikul Islam.

Ini kita lihat musuh besarnya. Dan kita lihat kalau sesorang itu musuh besar Ibnu Taimiyah pasti orang ini aqidahnya tidak benar. Tetapi ketika meningggal, Syaikhul Islam mendatangi rumahnya dan menyampaikan bahwa mulai hari ini semua kebutuhan keluarganya menjadi tanggungan Syaikhul Islam. Siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti ini? Siapa diantara kita yang bisa ketika musuhnya meninggal dia mendatangi keluarganya, mendatangi anak-anaknya kemudian berta'ziah kepada mereka? Siapa diantara kita yang bisa sampai mengatakan bahwa tidak ada kebutuhan yang kalian butuhkan melainkan saya akan memenuhi kebutuhan kalian? Siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti itu? Hanya orang-orang yang berjiwa besar.

Bahkan kalau kita mau jujur, tidak hanya itu, bahkan kepada teman dekat pun kita belum bisa berbuat seperti itu apalagi kepada musuh. Betul Syaikul Islam mendatangi orang yang telah menfatwakan tentang kafirnya Syaikhul Islam. Artinya ia sangat memusuhi Syaikul Islam. Jika kita katakan dia ahli bid'ah, tentu sifat-sifat ini ada pada diri Ibnu Makhluf. Akan tetapi beliau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bersikap lebih besar dari itu artinya bukan orang yang berjiwa kerdil.

Seandainya kita berakhlak dengan akhlak seperti ini tentu kita bisa banyak meraih hati orang. Tetapi kadang kita memperlakukan mereka (orang yang berbeda dengan kita atau orang yang menyakiti kita) dengan perlakuan sebagaimana ayat-ayat yang Alloh Subhanallohu wa Ta’ala tegaskan bahwa ini adalah ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafiqin. Tidak boleh kita Istigfar untuk mereka, tidak boleh kita menyolatkan mereka, tidak boleh kita menguburkan mereka. Hukum-hukum itu (tidak boleh memintakan ampun, menyolatkan, dan mendatangi penguburannya), kita terapkan kepada orang yang tadi kita sebutkan.

Kadang-kadang kita bermuamalah dengan sebagian kaum muslimin dengan muamalahnya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an, muamalah dengan orang munafiqin. Artinya kita menjadi orang-orang yanag asyida' alal Mu'minin, 'orang yang sangat kasar kepada orang mukmin.' Kita menjadi orang-orang yang sangat kasar kepada ahlu iman padahal Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mensifati orang-orang mukmin dan para shabat yang bersana Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang yang Asyida' 'alal kuffar, ruhamaa'u bainahum. Kita menjadi orang yang terbalik, kepada orang-orang yang beriman kasarnya luar biasa kemudian kepada orang-orang kafir tidak bersikap kasar.

Kita lihat bagaimana Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang sudah aklaknya mulia sekali masih Alloh Subhanallohu wa Ta’ala perintahkan untuk bersikap lembut. "Seandainya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu"

Ayat ini diturunkan kepada nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam bukan kepada yang lain, artiya juga menjadi pelajaran bagi yang lain. Jika saja Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam berbuat kasar tentu orang akan lari darinya apalagi bukan rasul. Yang Rasul ini banyak pendukungnya untuk kemudian diterima dakwahnya, beliau dapat wahyu, beliau ma'sum dan beliau memiliki akhlak yang mulia, beliau ini dan itu, itu saja masih kemudian diperintahkan untuk bersikap lemah lembut, sampai Alloh Subhanallohu wa Ta’ala sampaikan firmanNya yang arinya:

"Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (urusan peperangan dan hal duniawiah yang lain). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat, maka bertawakallah kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala (QS. Al Imran:159).

Sekarang mari kita lihat lagi contoh yang ketiga yakni dari Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, ketika berhubungan dengan Abdullah bin Ubay bin Salul. Abdullah bin Ubay ini adalah tokohnya kaum munafiqin di masa Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Semua orang tahu bahwa Abdullah bin Ubay ini adalah ra'sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, bagaimana sikapnya terhadap Islam, ketika dalam perang Muraysi' dia mengatakan "perumpamaan kita dengan Muhammad dan para shahabatnya adalah seperti kata pepatah 'سَمِّنْ كَلْبُكَ يَأْكُلُكَ' "beri makan terus anjingmu, nanti kalau sudah besar akan memakanmu." Artinya ketika Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shabatnya kita berikan kesempatan mereka akan menindas kita. Ini kata Abdullah bin Ubay dan orang-orang muanafiq yang bersamanya. Kemudian dia juga!
mengatakan "jangan kalian infakkan apa yang ada ditangan kalian kepada orang-orang yang bersama Muhammad supaya mereka menjauh dari Muhammmad." Ini perkataan Abdullah bin Ubay, dan ini hanya sebagian dari sikap mereka kepada Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, agar mereka jangan diberikan apapun dan agar mereka keluar dari Madinah.

Coba kita perhatikan ketika Abdullah bin Ubay ini meninggal apa yang dilakukan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam? Beliau mendatangi kuburnya, memberikan pakaian beliau kepada putranya, dan kemudian memberikan kain untuk dijadikan kafan untuk Abdullah bin Ubay. Ini ra'sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, jelas-jelas orang munafiq, bahkan dengan nash, Rasulullah datang ke kuburnya. Kemudian kita lihat ini bukan orang munafiq biasa tapi ra'sul munafiqin, tetapi dia masih diberikan kain kafan, didatangi kuburnya dan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam memintakan ampun kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala.

Coba bayangkan, beliau mendatangi kuburnya dan memintakan ampun kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, memintakan ampun kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala untuk imamnya orang-orang munafiq, sampai turun firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala yang melarang Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk memintakan ampun. Artinya kita lihat kemuliaan jiwa Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk memintakan ampun kepada orang yang selama ini menyakiti beliau. Kalau sendainya itu terjadi pada kita mungkin kita akan kemudian mengatakan "mampus, biar sekalian mati", akan tetapi beliau memintakan ampun, baru setelah turun larangan memintakan ampun untuk orang-orang munafiq dan orang kafir, yang artinya:

"Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Alloh Subhanallohu wa Ta’ala sekali-kali tidak akan merberi ampun kepada mereka" (QS. At taubah:80).

Berkenaan dengan ayat ini beliau bersabda yang artinya, "Seandainya saya tahu kalau seandainya saya beristighfar lebih dari tujuh puluh kali akan diampuni, saya akan melakukan lebih dari tujuh puluh kali" atau sebagaiman sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ini kepada imamnya orang-orang munafiq, seandainya beliau memintakan ampun libih dari tujuh puluh kali akan diampuni, niscaya beliau akan melakukannya. Kita lihat akhlak Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam terhadap imamnya orang-orang munafiq, kepada orang yang sudah lama sekali mengganggu dan menyusahkan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam serta orang-orang yang bersama beliau. Orang inilah yang telah membuat tuduhan palsu kepada 'Aisyah radhiAllohu 'Anha, dia juga yang menuduh kehormatan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam.

Coba kita lihat pada orang yang seperti ini beliau masih mau mendatangi kuburnya, kemudian memberikan kain kafan kemudian memintakan ampun kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala. Siapa diantara kita yang bisa berjiwa besar seperti ini?
Di alam yang penuh fitnah sekarang ini, masing-masing manusia mencoba mengatasinya dengan cara mereka sendiri terutama ketika menghadapi para penguasa yang dhalim atau dianggap dhalim oleh mereka.

Bahkan orang yang dianggap sebagai seorang negarawan dan keturunan negarawan besar bangsa ini pun tidak sanggup mencotohkan perilaku yang sepatutnya. Sebagian berdemonstrasi dan berkoalisi dengan kelompok lain untuk menggulingkan penguasanya. Lainnya menggunakan ilmu politiknya. Masing-masing menganggap cara demikianlah yang paling tepat dan cepat untuk mengatasi penguasa dhalim. Padahal cara-cara demikian tidaklah pernah diajarkan oleh umat terdahulu yang sholeh, sedangkan mereka adalah sebaik-baik panutan dalam menjalani hidup ini (secara individu, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Mendoakan kebaikan untuk penguasa adalah salah satu cara yang ditempuh umat terdahulu yang sholeh untuk mengatasi kedhaliman mereka. Karena dengan berdoa kepada Alloh --agar menyelamatkan rakyat dari kedhaliman penguasanya-- memberikan kebaikan dan menyadarkan mereka untuk berbuat adil dan bijaksana. Hal ini juga merupakan pengamalan dari perintah Alloh Ta’ala di dalam firman-Nya, yang artinya:

“ … kemudian bila kamu ditimpa kemudlaratan maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An Nahl: 53)

Dan sabda Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, yang artinya:
“Sesungguhnya akan terjadi setelahku ‘atsarah’ dan perkara-perkara yang kalian ingkari.” Mereka (para shahabat) bertanya : “Wahai Rasulullah, lalu apa yang Anda perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab : “Tunaikanlah hak mereka yang diwajibkan atas kalian dan mintalah hak kalian kepada Alloh.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Di dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa walaupun ia seorang yang dhalim dan bersikap sewenang-wenang. Berikanlah haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak memberontak, dan tidak mengkudetanya, bahkan seharusnya dengan sungguh-sungguh memohon kepada Allah Ta’ala untuk menyingkirkan gangguannya, menolak kejahatannya, dan memperbaikinya.” (Syarah Shahih Muslim 12/183)

Mendoakan kebaikan untuk para penguasa adalah suatu perkara yang sangat dijunjung tinggi oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah, hingga Al Imam Al Barbahari rahimahulloh menyatakan: “Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan bagi pemerintah maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah). Dan jika engkau mendengar seseorang mendoakan kebaikan bagi pemerintah maka ketahuilah bahwa ia adalah Ahlus Sunnah, Insya Alloh.” (Syarhus Sunnah halaman 116-117)



Fudlail bin ‘Iyyadl seorang Imam Ahlus Sunnah yang menetap di Makkah dan wafat pada tahun 187 H menyatakan: “Kalaulah aku memiliki suatu doa yang pasti dikabulkan niscaya tidaklah aku peruntukkan kecuali untuk penguasa.”

Oleh karena itu kami diperintah mendoakan kebaikan dan tidak diperintah untuk mendoakan kejelekan bagi mereka walaupun mereka berbuat jahat dan dhalim. Karena kejahatan dan kedhaliman mereka (balasan akibatnya) untuk mereka sendiri sedangkan kebaikan mereka (balasannya) untuk diri mereka dan kaum Muslimin.”

Begitu tegas ucapan Fudlail bin ‘Iyyadl ini sehingga menjadi rujukan Ahlus Sunnah dalam menyikapi penguasa, pemerintah, dan pemimpin mereka yang berbuat kedhaliman dan ketidakadilan.

Adapun tentang lafadh doanya kita dapat melafadhkannya sesuai dengan kehendak kita, yang penting mengandung makna yang baik dan permohonan kepada Allah agar memperbaiki dan meluruskan penguasa dari penyimpangan-penyimpangan yang selama ini mereka lakukan. Khusyu’-lah dalam berdoa dan pilihlah waktu-waktu yang maqbul untuk berdoa dan dengan cara yang sesuai tuntunan Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: “Berdoalah kalian kepadaku niscaya Aku akan mengabulkan doa kalian.” (QS. Ghafir: 60)

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami.” (QS. Al Anbiya': 90)

Dan janganlah mendoakan kejelekan untuk penguasa. Karena yang demikian bukanlah akhlak Ahlus Sunnah. Ulama Ahlus Sunnah tidak senang jika mendengar seseorang yang mendoakan kejelekan untuk penguasanya. Sebagaimana yang dikhabarkan bahwa Al Hasan Al Bashri mendengar seseorang mendoakan kejelekan untuk Al Hajjaj yang kekuasaannya terkenal dengan kedhaliman, penindasan, pertumpahan darah, pelanggaran terhadap apa yang diharamkan Allah, bahkan sampai ia membunuh Abdullah bin Zubair, lalu beliau (Al Hasan Al Bashri) menyatakan: “Janganlah engkau melakukannya!”

Dengan sikap Al Hasan Al Bashri ini bertambah jelas bagi kita bahwa hak penguasa adalah dimintakan kepada Allah agar memperbaiki mereka dan bukan mendoakan kejelekan untuk mereka.Dan hendaklah kita juga memperbaiki diri, menjauhi larangan Allah, dan mengamalkan perintah-Nya. Karena kedhaliman para penguasa juga disebabkan dosa-dosa rakyatnya.Wallahu A’lam.

Sebagian kaum muslimin bertanya:
"Mengapa kita harus saling menyalahkan satu sama yang lainnya, bukankah kita masih sama-sama kaum muslimin yang bersaudara dan kita berkewajiban mempererat ukhuwah Islamiyah?"
Benar, kita adalah kaum muslimin yang memiliki ikatan ukhuwah. Untuk itu, maka kita tidak boleh saling mendhalimi antara satu dengan yang lainnya. Rasulullah bersabda:

Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling mencurangi, janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi dan janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan sebagian yang lainnya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang muslim adalah bersaudara, janganlah mendhaliminya, merendahkannya dan janganlah mengejeknya! Takwa ada di sini -beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. Cukup dikatakan jelek seorang muslim, jika ia menghinakan saudaranya muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya haram darahnya, harta dan kehormatannya. (HR. Muslim)

”Seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya. Jangan mendhaliminya dan jangan memasrahkannya. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantunya. Dan barangsiapa yang memberikan jalan keluar dari kesulitan saudaranya, maka Allah akan memberikan jalan keluar bagi kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari Muslim)

Allah juga berfirman:
”Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudara kalian dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat. (QS. Al-Hujuraat: 10)

Oleh karena itu, untuk mempererat ukhuwah kita harus saling menjaga darah seorang muslim, harta dan kehormatan mereka.Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan 3 sebab, yaitu: murtad, orang yang berzina dalam keadaan sudah pernah menikah dan qishash (pembunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja harus dibunuh).

Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud, Rasulullah bersabda:
Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada illah yang patut diibadahi kecuali Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kecuali dengan tiga perkara: jiwa dengan jiwa, pezina yang sudah pernah menikah dan orang yang memisahkan diri dari agama dan meninggalkan jama'ah (kaum muslimin).

Dengan demikian, darah seorang muslim tidak halal kecuali dengan 3 hal di atas, itupun yang berhak mengeksusinya adalah para penguasa, bukan oleh sembarang orang. Maka kami mengingatkan kepada seluruh kaum muslimin untuk meninggalkan budaya preman dalam menyelesaikan suatu perselisihan.

Namun fenomena yang berkembang di masyarakat kita tidaklah demikian -akibat jelek dari euforia demokrasi- telah menjalar di masyarakat kaum muslimin upaya menyelesaikan pertikaian dan perbedaan (ikhtilaf) dengan pengerahan massa. Memprovokasi kelompoknya untuk menyerang pada kelompok lain yang dianggap berbeda, sehingga terjadilah bakar-membakar, serang-menyerang atau akhlaq barbarian lainnya yang menimbulkan korban harta dan nyawa.

Di dalam hidup bermasyarakat, seorang Muslim perlu membawa diri dan menampakkan akhlaq yang mulia sehingga menjadi contoh dan teladan yang baik bagi manusia. Sehingga, apabila suatu ketika berpisah dengan masyarakat tersebut, maka kenangan yang baiklah yang selalu mereka ingat dari dirinya.

Sebaliknya, bila selama hidup bermasyarakat tersebut dia tidak bisa membawa diri dan berprilaku sebagai seorang Muslim yang beriman bahkan selalu membuat masalah dengan prilaku yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka manakala berpisah dengan lingkungan tersebut, hanya kenangan yang jeleklah yang selalu diingat dari dirinya. Dan hal ini semua biasanya terus berlaku hingga seseorang itu meninggalkan dunia yang fana ini.

Realita yang berkembang di suatu komunitas masyarakat mendukung pernyataan diatas. Kita sering mendengar, misalnya, ada seorang yang kaya raya tetapi ta’at beragama dan amat dermawan sehingga masyarakat di lingkungannya merasakan sekali sentuhan tangan dan budi baiknya tersebut. Maka, bila suatu ketika orang tersebut ditakdirkan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta'ala mendapatkan kecelakaan lantas meninggal dunia. Pastilah, yang akan kita dengar dari mulut mereka ungkapan yang menyayangkan kenapa orang sebaik itu harus dipanggil oleh Alloh Subhanahu Wa Ta'ala secepat itu padahal masyarakat masih membutuhkan uluran tangannya, dan seterusnya.

Demikian pula, kita sering mendengar hal sebaliknya yaitu bila seseorang misalnya, selalu membikin ulah di lingkungannya; menelantarkan keluarganya, merampok, memeras, menakut-nakuti orang-orang lemah sehingga mereka merasa tidak aman dengan kehadirannya. Maka, bila suatu ketika orang tersebut ditakdirkan oleh Allah mendapat kecelakaan lantas meninggal dunia. Tentu, masyarakat di sekitarnya akan merasa lega dan akan berkata di dalam hati mereka atau bahkan berbincang-bincang antara sesama mereka bila bertemu dan berkumpul: “biar dia rasakan bagaimana azab kubur nanti” “untung si jelek itu sudah mati” “memang sudah pantas dia mampus” “biar nanti di neraka dia rasakan akibatnya”. Atau barang kali yang lebih ekstrem lagi dan karena kebencian yang ingin diluapkannya, bisa saja orang seperti ini mendatangi kuburannya sembari berkata diatas kuburannya tersebut: “ayo rasakan sekarang pembalasannya, makanya jadi orang jangan jahat” “ini aku disini, mau apa!” sambil menginjak-injak k!
uburannya atau merusaknya.

Ekspresi yang tampak pada contoh pertama, yaitu terhadap orang yang baik budi pekertinya semasa masih hidup tersebut, secara agama tidak masalah dan tidak memiliki implikasi apa-apa selama masih dalam batas kewajaran. Akan tetapi, ekspresi yang ditampakkan di dalam contoh kedua, yaitu terhadap orang yang jelek budi pekertinya semasa hidupnya, secara agama bermasalah dan memiliki implikasi-implikasi.

Nah, apakah hal itu dibolehkan menurut agama? Maka kajian hadits kali ini menyoroti masalah tersebut secara singkat, semoga bermanfa’at. Wallaahu a'lam

“Dari ‘Aisyah radhiallaahu 'anha, dia berkata: Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah mati, karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka lakukan’ “. (HR: al-Bukhâriy)

Beberapa Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari Hadits Diatas

Hadits diatas menunjukkan bahwa haram hukumnya mencaci maki atau mencela orang-orang yang sudah mati. Hadits tersebut bersifat umum sehingga mencakup kaum Muslimin dan orang-orang kafir juga.

Hikmah dari pelarangan tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan pada bagian akhir hadits tersebut, yaitu karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka lakukan.

Maksudnya adalah bahwa mereka telah mencapai perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan baik berupa perbuatan yang shalih atau sebaliknya.

Tidak ada gunanya mencela, mencacimaki, menjelek-jelekkan kehormatan, mengungkit-ungkit kejahatan dan perbuatan-perbuatan mereka sebab hal itu terkadang berimplikasi terhadap keluarganya yang masih hidup, yaitu menyakiti hati mereka.

Ibnu al-Atsîr berkata di dalam kitabnya Usud al-Ghâbah : “Ketika ‘Ikrimah bin Abu Jahal masuk Islam, banyak orang-orang yang berkata: ’wah!, ini adalah anak musuh Allah, Abu Jahal’. Ucapan ini menyakiti hati ‘Ikrimah karenanya dia mengadukan perihal tersebut kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam, lantas beliau bersabda: “Janganlah kalian mencela ayahnya karena mencela orang yang sudah mati, akan menyakiti orang yang masih hidup (keluarganya)”.

Imam an-Nawawiy berkata: “Ketahuilah, bahwa ghibah (membicarakan kejelekan orang lain ketika orangnya tidak ada di tempat) dibolehkan bila dimaksudkan untuk tujuan yang benar dan disyari’atkan dimana tidak mungkin untuk ditempuh selain dengan cara itu…”. Kemudian beliau menyebutkan: “diantaranya; untuk memperingatkan kaum muslimin dari suatu kejahatan dan untuk menashihati mereka. Hal ini dapat ditempuh melalui beberapa sisi, diantaranya (seperti di dalam ilmu hadits-red); boleh men-jarh (mencacati) para periwayat dan para saksi yang dikenal sebagai al-Majrûhîn (orang-orang yang dicacati karena riwayat yang disampaikannya tidak sesuai dengan kriteria riwayat yang boleh diterima baik dari sisi individunya, seperti hafalannya lemah, dan lain sebagainya-red); maka, hal seperti ini secara ijma’ kaum Muslimin adalah dibolehkan bahkan wajib hukumnya. Diantaranya lagi, dengan tujuan memperkenalkan seseorang bila dia dikenal dengan julukan tertentu seperti al-A’masy (si picak), al-A!
’raj (si pincang), al-Ashamm (si tuli), dan sebagainya. Sedangkan bila julukan itu dilontarkan untuk tujuan merendahkan maka haram hukumnya. Oleh karena itu, lebih baik lagi menghindari penggunaan julukan semacam itu sedapat mungkin”.

Di dalam menyikapi orang-orang yang sudah mati, mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah adalah bahwa kita berharap agar orang yang berbuat baik dari mereka diberi ganjaran pahala oleh Allah, dirahmati dan tidak disiksa olehNya. Sedangkan terhadap orang yang berbuat buruk, kita mengkhawatirkan dirinya disiksa karena dosa-dosa dan keburukan yang diperbuatnya. Kita juga tidak bersaksi terhadap seseorang bahwa dia ahli surga atau ahli neraka kecuali orang yang sudah dipersaksikan oleh Rasululloh Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan hal itu.

Diharamkan berburuk sangka terhadap seorang Muslim yang secara lahirnya adalah lurus, berbeda dengan orang yang secara lahirnya memang fasiq maka tidak berdosa bila berburuk sangka terhadapnya.

Tidak ada komentar: